dampak tidak menerapkan GCG

Dampak Buruk Bagi Perusahaan yang Tidak Menerapkan GCG

Mencuatnya kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang mengalami ‘gagal bayar’ di tahun ini menyita perhatian khalayak luas. Apa yang menimpa salah satu BUMN tersebut juga dialami oleh sejumlah perusahaan lain, meski dalam skala yang lebih kecil. Lantas, apa yang terjadi kemudian bagi perusahaan yang mengalami kejadian serupa? Lebih spesifik, apa yang salah dari BUMN dengan kapasitas keuangan yang sebetulnya besar tersebut? Apakah ini adalah salah satu contoh dampak tidak menerapkan GCG bagi perusahaan?

Bila dicermati lebih mendalam, kasus yang menimpa di Jiwasraya tak terlepas dari tata kelola perusahaan yang buruk. Sebagai perusahaan asuransi, bisnis yang dijalankan Jiwasraya sebenarnya ketat dengan regulasi yang bisa diibaratkan ‘mengekang’. Pasalnya, bisnis asuransi berkutat dengan pengelolaan dana masyarakat, khususnya para nasabah.

Faktanya, Jiwasraya mengalami gagal bayar atas produk JS Saving Plan. Produk ini dipasarkan kepada nasabah lewat bank alias bancassurance. Tak tanggung-tanggung, Jiwasraya disebut-sebut memiliki kewajiban membayar klaim nasabah senilai kira-kira Rp16 triliun.

Mengenal Dampak Tidak Menerapkan GCG Bagi Perusahaan

Dampak Tidak Menerapkan GCG Bagi Perusahaan
Sumber: Freeimages.com

Secara garis besar, terdapat tiga gejala umum yang menandakan bahwa masih rendahnya–bila tidak bisa disebut nihilnya–penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) di tanah air. Ketiganya adalah ‘mark up’ atau penggelembungan biaya dalam proyek investasi, pemberian ‘komisi’ atau gratifikasi dalam pengadaan barang dan jasa, serta dari sisi Pemerintah adalah adanya pemberian ‘suap’ dalam perizinan.

Pada level perusahaan, ‘mark up’, pemberian ‘komisi’, dan ‘suap’ dalam perizinan dapat merugikan perusahaan secara finansial. Hal ini karena perusahaan mengeluarkan ‘cost’ yang lebih besar daripada semestinya. Belum lagi bila perusahaan tersebut tersandung hukum akibat perbuatan ‘oknum’ yang melakukan perbuatan curang seperti yang telah disebutkan itu. 

Pada skala yang lebih luas, penggelembungan biaya dalam proyek investasi dan pemberian ‘komisi’ dalam pengadaan barang dan jasa akan berdampak nilai buku aset lebih tinggi daripada yang sesungguhnya. Kondisi ini kemudian mendorong terjadinya over financing dalam perekonomian. Nilai buku aset yang lebih tinggi dibandingkan aktualnya juga akan mengakibatkan beban depresiasi (penyusutan) lebih besar daripada yang seharusnya. Alhasil, cost of good sold (harga pokok penjualan) atau segala biaya yang timbul dalam rangka membuat suatu produk menjadi siap untuk dijual juga akan terdongkrak. Lebih jauh, kondisi ini berakibat pada penghasilan kena pajak menjadi lebih rendah. Begitu pula dengan pendapatan pajak kepada negara yang menjadi lebih rendah daripada yang seharusnya. Akibatnya, beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bisa membengkak karena penerimaan pajak yang rendah dan tidak sesuai dengan target. Bagi konsumen, membeli produk dengan harga yang lebih mahal adalah konsekuensinya.

Selanjutnya, over financing menghasilkan akumulasi kerugian. Akumulasi ini tercermin pada kualitas aktiva produktif bank dan meningkatkan risiko tingginya non performing loans pada perbankan. Menyikapi hal ini, bank harus melakukan penambahan cadangan untuk kredit macet. Kondisi ini pun bisa menyebabkan melemahnya kemampuan bank dalam memenuhi kewajiban. Penambahan cadangan akan mendorong semakin meningginya bunga kredit. Imbasnya bisa melebar ke dunia usaha karena terhambatnya pemerataan kesempatan berusaha. Dengan kata lain, sangat kecil terjadinya usaha atau pengusaha baru yang muncul.

Kemampuan bank yang melemah dalam memenuhi kewajiban akan menyebabkan hilangnya kepercayaan pada bank. Bukan tak mungkin, terulangnya krisis ekonomi pada tahun 1998. Saat itu, Pemerintah terpaksa menjamin kewajiban bank dan menerbitkan obligasi untuk menggantikan kewajiban bank yang ditutup dan obligasi untuk menambah modal bank yang diselamatkan. Lagi-lagi, APBN akan bertambah besar bebannya.

Dampak Tidak Menerapkan GCG Bagi Perusahaan
Sumber: Freeimages.com

Maka tak heran bila Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai GCG merupakan cerminan bagi perekonomian suatu negara. Dampak tidak menerapkan GCG tak hanya dirasakan bagi perusahaan–pada tingkat terparah tutupnya perusahaan tersebut–tapi juga perekonomian suatu negara.

Sayangnya, masih banyak perusahaan di Indonesia, baik swasta maupun BUMN, yang belum menerapkan prinsip-prinsip GCG secara berkesinambungan sehingga berpotensi memicu terjadinya krisis keuangan. Padahal, GCG yang dijalankan secara optimal dapat berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan, keseimbangan kerangka kerja serta pemahaman menyeluruh dari manajemen perusahaan.

Penerapan GCG yang berkelanjutan juga dapat mengarahkan perusahaan dalam memitigasi risiko, menjaga standar kualitas produk, dan meningkatkan akses permodalan.

Dampak Tidak Menerapkan GCG Bagi Perusahaan
Sumber: Freeimages.com

Related post: Mengapa Perusahaan Harus Menerapkan Konsep GCG?

Jadi, jangan sampai bisnis atau perusahaan Anda merasakan kerugian yang berasal dari dampak tidak menerapkan GCG ya!

Solusinya, Anda bisa membuat buku pedoman tata kelola perusahaan yang baik. Pedoman tersebut dapat digunakan untuk mengedukasi seluruh anggota perusahaan guna membantu meningkatkan keberhasilan usaha serta akuntabilitas demi mewujudkan nilai perusahaan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dapatkan penawaran jasa pembuatan buku pedoman tata kelola perusahaan dengan klik pada bagian kotak berikut ini:

KONTAK

 

Sumber:

  • fakhrurrojihasan.wordpress.com/2015/03/05/dampak-lemahnya-etika-bisnis-dan-gcg/ 
  • www.cnbcindonesia.com/market/20200131103425-17-134196/borok-jiwasraya-terbuka-cacat-bumn-satu-per-satu-terungkap
  • www.liputan6.com/bisnis/read/817550/tata-kelola-perusahaan-buruk-jadi-pemicu-krisis-ekonomi-dunia 

Download Company Profile

Kategori