Istilah tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) di Indonesia mulai menyeruak pada tahun 1997. Pada tahun itu, krisis ekonomi mulai menerpa sejumlah negara, termasuk Indonesia. Dua tahun kemudian, sejumlah negara di Asia Timur yang juga terkena krisis mulai keluar dari ‘jerat’ krisis ekonomi. Sayangnya, Indonesia tidak termasuk dalam deretan negara tersebut. Hal ini dikarenakan penerapan GCG di Indonesia tidak dilakukan dengan tepat.
Analisa mendalam mengungkapkan, pelanggaran GCG di kalangan korporasi punya andil besar terhadap krisis moneter (krismon) 1997-1998 di Indonesia. Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa banyak perusahaan di tanah air belum dikelola secara benar. Dalam bahasa khusus, korporat tanah air belum menjalankan governansi (Moeljono).
Seluk-Beluk Penerapan GCG di Indonesia
Pada tahun 1998, Booz-Allen menggelar survei di Asia Timur. Hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks corporate governance paling rendah dengan skor 2,88. Angka ini jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72), dan Thailand (4,89). Rendahnya kualitas penerapan GCG ditengarai banyak pihak menjadi ‘kejatuhan’ sejumlah perusahaan.
Pada tahun yang sama, konsultan manajemen McKinsey & Co melalui penelitiannya menemukan bahwa sebagian besar nilai pasar perusahaan-perusahaan Indonesia yang tercatat di pasar modal (sebelum krisis) ternyata overvalued. Pada penelitian tersebut, sekitar 90% nilai pasar perusahaan publik ditentukan oleh growth expectation dan sisanya 10% baru ditentukan oleh current earning stream. Padahal di negara-negara maju, nilai dari perusahaan publik yang sehat ditentukan dengan komposisi 30% growth expectation dan 70% current earning stream. Current earning stream inilah yang merupakan kinerja sebenarnya dari korporasi.
Lantas, kapan persisnya penerapan GCG di Indonesia mulai berjalan? Sejumlah kalangan menilai momen tersebut dimulai sejak Indonesia menandatangani letter of intent (LOI) dengan IMF. Salah satu bagian penting LOI itu ialah pencatuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan-perusahaan di Indonesia (YPPMI & SC, 2002). Sejalan dengan hal tersebut, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan standar GCG yang telah diterapkan di tingkat internasional.
Kementerian BUMN di tahun 1999 pun menetapkan agenda penerapan GCG di Indonesia sebagai upaya peningkatan GCG di tanah air tercinta. Agenda tersebut meliputi penetapan kebijakan nasional, penyempurnaan kerangka nasional, dan peningkatan inisiatif sektor swasta.
Lalu, Bapepam bersama dengan self-regulated organization (SRO) yang didukung oleh Bank Dunia dan ADB telah membuat beberapa proyek GCG. Bapepam meyakinkan bahwa berbagai ketentuan dan peraturan yang ada akan terus-menerus disempurnakan. Tambah pula, pelanggaran yang terjadi akan mendapat sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seiring dengan proyek-proyek seperti ini, Kementerian BUMN telah mengembangkan kerangka untuk implementasi penerapan GCG di Indonesia.
Undang-Undang dan perangkat hukum yang ada terus diperbaiki dalam rangka reformasi di bidang hukum yang juga sesuai dengan praktik penerapan GCG di Indonesia. Perangkat hukum yang dimaksud antara lain UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Seiring itu, dibentuk pula Pengadilan Niaga yang sudah ada sejak 1997 dan pembentukan Badan Arbitrasi Pasar Modal Indonesia (BAPMI) tahun 2001.
Masih di tahun 2001, Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance menerbitkan pedoman GCG pada Maret 2001. Pedoman tersebut diikuti dengan ditetapkannya Pedoman GCG Perbankan Indonesia, Pedoman untuk Komite Audit, dan Pedoman untuk Komisaris Independen tahun 2004. Semua pedoman itu digunakan sebagai acuan dalam penerapan GCG.
Lebih spesifik, aktualisasi implementasi GCG di lingkungan BUMN dapat dilihat dari, misalnya, kewajiban memiliki Statement of Corporate Intent (SCI). SCI ini merupakan komitmen perusahaan terhadap pemegang saham dalam bentuk suatu kontrak yang menekankan pada strategi. SCI ini juga bisa dipandang sebagai upaya manajemen dan didukung oleh dewan komisaris dalam mengelola perusahaan.
Terkait dengan SCI, direksi diwajibkan menandatangani appointment agreements yang merupakan komitmen direksi untuk memenuhi fungsi-fungsi dan kewajiban yang diembannya. Indikator kinerja para direksi terlihat pada reward and punishment system dengan meratifikasi UU BUMN.
Tak hanya itu, regulasi yang dikeluarkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) juga mewajibkan seluruh perusahaan yang tercatat melaksanakan GCG. Sejumlah regulasi lainnya juga telah terbit berdasarkan sektor industri tertentu.
Seiring berjalannya waktu, praktik penerapan GCG di Indonesia relatif semakin membaik. Hal ini dapat dilihat dari peringkat ASEAN Corporate Governance Scorecard (ACGS) Indonesia pada 2017 mengalami peningkatan menjadi 70,59 dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 62,88.
Jika saat ini perusahaan Anda membutuhkan jasa pembuatan pedoman tata kelola perusahaan, segera hubungi tim Sooca Design. Kami siap menjadi partner profesional terbaik untuk kebutuhan pembuatan buku pedoman GCG perusahaan Anda.
Related post: Mengenal Istilah GCG (Tata Kelola Perusahaan Yang Baik)
Sumber:
- www.proxsisgroup.com/good-corporate-governance-gcg-dan-penerapannya-di-indonesia-part/
- kumparan.com/teddy-kozuma/good-corporate-governance/full
- kumparan.com/teddy-kozuma/good-corporate-governance