Mengapa Harga Desain Mahal?
Sudah bukan rahasia lagi jika harga harga desain yang mahal membuat hampir semua orang bingung, khususnya yang akan, pernah, bahkan telah menggunakan jasa desainer (komunikasi visual).
Sebenarnya pertanyaan yang tertuang dalam judul artikel ini bisa dijawab mudah dengan satu jawabannya klise: sekolah desain mahal! Peralatan yang dibutuhkan baik ketika kuliah maupun saat bekerja pun juga mahal: kamera beserta light set, laptop spek tinggi, pen tablet, dan sebagainya.
Tapi saya rasa jawaban tersebut belum membuat orang-orang puas, bahkan mungkin juga ada yang skeptis hingga berpikir negatif: jangan-jangan, harga desain mahal karena permainan desainer saja, yang artinya saya dibohongi desainer???
Pikiran negatif di atas tentunya juga salah. Khususnya teruntuk pebisnis yang telah, sedang, atau akan menggunakan jasa desainer, saya mengajak mari berpikir positif. Saya yakin, desainer pasti punya alasan objektif mengapa jasanya bisa mahal. Ada beberapa alasan yang bisa kita temukan dan saya akan mencoba menuliskannya dalam artikel ini. Mulai dari sudut pandang desainer, pebisnis, maupun disiplin ilmu desain itu sendiri.
Pertama, dari sudut pandang desainer
Desainer (komunikasi visual) yaitu seseorang yang memiliki kemampuan menerjemahkan dan mengatasi problem – problem yang dimiliki klien, dalam hal ini pebisnis, menjadi solusi-solusi yang dituangkan secara kreatif melalui bahasa visual, yang tujuannya memecahkan problem itu sendiri. Desainer dituntut bisa menuangkan gagasan secara efektif, efisien, serta cerdas. Diharapkan, hasil pekerjaan dari desainer dapat menjadi solusi bagi klien dalam melakukan pengembangan bisnisnya, baik di level UKM, perusahaan level kecil, menengah, hingga skala besar.
Desainer juga merupakan insan kreatif yang perannya belum tergantikan oleh tenaga robot, sebagaimana saat ini banyak profesi yang hilang akibat dampak automatisasi era Revolusi Industri 4.0.
Desainer bukan semata-mata orang yang bisa mengoperasikan kamera, komputer, atau software pengolah grafis macam Illustrator, Photoshop, Corel Draw, Indesign, Aftereffect, dsb. Sekali lagi, peran desainer lebih sebagai problem solver.
Peran sebagai problem solver ini tentunya juga tidak sembarangan. Sebagaimana kita ketahui, setiap pekerjaan profesional tentunya terikat oleh etika profesi, dan hal ini juga berlaku untuk para desainer.
Contoh yang paling mudah yaitu seorang desainer tidak boleh mencomot, mengambil, dan menjiplak ide maupun hasil karya desainer lain, sehingga aman dari masalah plagiarisme yang bisa mematikan kreativitas. Desainer juga wajib memperhatikan tanggung jawab moral, sehingga pebisnis yang menjadi kliennya tidak dirugikan baik secara material maupun moral ke depannya.
Cukup banyak contoh yang bisa kita ambil, salah satunya yaitu pada tahun 2016 ketika logo dan merek “Cap Kaki Tiga” milik perusahaan Wen Ken Drug dicoret oleh Dirjen HKI karena dianggap plagiat lambang Isle of Man¸ sebuah negara kecil yang masih menjadi bagian dari kerajaan Inggris.
Gugatan tersebut diajukan oleh warga negara Inggris bernama Russel Vince. Tentu saja masalah ini merugikan perusahaan karena lambang merek tersebut sangatlah ikonik, namun di sisi lain melanggar hukum dan etika serta berdampak pada kerugian material. Hal inilah yang membuat profesi desainer memiliki tanggung jawab yang berat dari sisi hukum dan etika, sehingga layak untuk dihargai tinggi (dibayar mahal).
Kedua, dari sudut pandang pebisnis
Pebisnis membutuhkan media komunikasi visual untuk memperkenalkan produk, mempersuasi calon konsumen, menyajikan company profile, menanamkan brand image, dan sebagainya.
Apapun media yang dibutuhkan, sejatinya merupakan representasi dari citra/image perusahaan itu sendiri. Dan ini tentunya tidak main-main, alias harus dipikirkan dan dipertimbangkan matang-matang.
Bisa saja pebisnis mencari desainer dengan bayaran murah serta bisa menyelesaikan pekerjaan secara cepat. Tetapi, apakah hasil desainnya nanti bisa bertahan lama? Apakah hasilnya mencitrakan visi-misi pebisnis atau perusahaan? Apakah hasilnya terjamin bebas dari plagiarisme? Apakah pebisnis rela mempertaruhkan citra/image perusahaannya hanya karena ingin mencari jasa desain yang murah?
Mari kita renungkan!
Kredibilitas pebisnis atau perusahaan bisa menjadi taruhan jika desain yang dimilikinya ternyata dirancang asal-asalan dan tidak memiliki filosofi yang sejalan dengan visi-misi perusahaan.
Bayangkan, hanya karena desain yang tidak profesional, setiap bulan atau setiap tahun perusahaan harus mengganti logo, brand, atau media komunikasi lainnya karena ada ketidakcocokan dengan kebutuhan, kasus plagiarisme, serta tidak relevan dengan dinamika zaman.
Salah satu contoh yang bisa kita pelajari, upaya rebrand PT Pertamina telah menghasilkan desain logo baru berbentuk huruf P, dan mengeluarkan biaya sebesar ± 2,55 miliar pada akhir tahun 2005. Biaya ini termasuk pengaplikasian logo pada berbagai media seperti gedung perusahaan, surat-surat, mobil tangki, seragam, dan lain sebagainya.
Logo baru dari PT Pertamina ini dianggap lebih simpel, fresh, serta modern, dan yang utama bisa bertahan hingga sekarang. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa desainer dan pebisnis harus saling bekerja sama dalam proses kreatif perancangan media komunikasi visual agar selaras dan tidak terjadi mispersepsi.
Profesionalitas desainer dalam berkarya juga harus diimbangi dan diapresiasi dengan profesionalisme pebisnis dalam membayar jasa desain sesuai dengan beban pekerjaan yang diberikan.
Ketiga, dari sudut pandang displin ilmu desain
Dari berbagai definisi desain yang ada, saya mengadaptasi statement John Heskett, seorang profesor di bidang Desain Industri/Desain Produk dari Amerika. John Heskett dalam bukunya berjudul “DESIGN: A Very Short Introduction”, menjelaskan definisi desain bahwa “Design is to design a design to produce a design”. Kalimat tersebut jelas membuat kita bingung. Bagaimana bisa definisi desain justru memuat empat kata desain, dan apa perbedaan keempat kata desain tersebut?
Untuk memahami kalimat statement John Heskett tersebut, bisa kita lihat gambar berikut:
Dari gambar di atas, setidaknya kita bisa mengetahui perbedaan keempat kata design tersebut. Kata design yang pertama, ketiga, dan keempat, merupakan noun (kata benda). Sedangkan kata design yang kedua merupakan verb (kata kerja).
Kata design yang pertama diartikan sebagai bidang ilmu (keilmuan).
Kata design yang kedua diartikan sebagai proses atau aktivitas.
Kata design yang ketiga diartikan sebagai kosnsep dan tujuan berkarya.
Sedangkan kata design yang keempat diartikan sebagai luaran atau output.
Jika digabungkan mulai dari kata design pertama hingga keempat, dapat diartikan bahwasannya design merupakan gabungan dari ilmu, metode, gagasan/tujuan, dan tentunya karya.
Di sisi lain, fenomena saat ini menunjukkan bahwa masyarakat maupun pebisnis memahami desain hanya sebagai KARYA/OUTPUT, sehingga masih banyak yang meremehkan pekerjaan desain dan berujung pada keinginan untuk membayar jasanya dengan murah.
Padahal, profesi desain tidak bisa tiba-tiba langsung berkarya. Desain dimulai dari ilmu pengetahuan. Ilmu di sini merupakan titik awal yang harus dimiliki seorang desainer. Idealnya pengetahuan desain diperoleh dari dunia akademik (perkuliahan) jurusan DKV, atau membaca literatur tentang desain baik dari buku, ebook, jurnal penelitian dosen, website yang kredibel, dsb.
Tahap berikutnya yaitu desainer harus memahami metode atau tahapan aktivitas yang akan dilakukannya selama mengerjakan project dari klien. Desainer harus melakukan riset terlebih dahulu untuk mengetahui kebutuhan klien, trend pasar saat ini, referensi gaya desain, dsb.
Tahap selanjutnya adalah menentukan gagasan dan tujuan dalam mengerjakan project. Desainer harus tahu tujuan apa yang ingin dicapai sehingga dia harus mengerjakan project yang ditawarkan. Dengan memahami tujuannya, desainer bisa menuangkan konsep-konsep kreatif sebagai landasan untuk berkarya.
Dan terakhir, baru di tahap ini desainer akan mewujudkan gagasan tersebut dalam bentuk karya komunikasi visual yang kreatif, apakah outputnya berupa logo, media periklanan, company profile, dan sebagainya.
Contoh yang cukup mudah untuk menjelaskan definisi desain di atas yaitu: ketika ada pebisnis yang meng-hire desainer untuk membuat desain logo usaha catering makanan khas Jawa, di tahap pertama, desainer harus memiliki wawasan tentang logo (apa itu logo, bentuk logo, bahasa simbol, makna warna, dsb) serta paham tentang makanan khas.
Di tahap kedua, desainer melakukan riset tentang visi misi atau karakteristik perusahaan milik pebisnis tersebut, riset trend calon komsumen saat ini. Siapa penikmat makanan khas, siapa yang berpotensi menjadi target pasarnya, serta mempelajari trend logo kuliner sebagai referensi dalam berkarya.
Di tahap ketiga, desainer menggunakan hasil risetnya untuk menentukan tujuan pekerjaannya serta menuangkan ide-ide kreatif melalui brainstorming, coretan sketsa, hingga tahap digitalisasi logo.
Di tahap keempat, karya logo kreatif yang dibutuhkan pebisnis selesai dibuat dan siap diaplikasikan di berbagai media milik pebisnis tersebut.
Bayangkan, jika desainer tidak memiliki wawasan atau pengetahuan yang memadai tentang desain, tentunya dia tidak akan bisa merancang logo secara sistematis dan bahkan akan merancang logo secara asal-asalan. Jika demikian, tentu akan berdampak pada pertaruhan kredibilitas dirinya sendiri serta perusahaan sebagai pihak klien.
Dengan memahami ilustrasi di atas, apakah kita masih bisa menganggap remeh profesi desainer?
Apakah kita masih ingin menghargai jasa mereka dengan harga murah?
Apakah kita masih tutup mata tentang alasan mengapa harga desain mahal?
Terima kasih,
Toto Haryadi, S.Sn, M.Ds
Dosen DKV UDINUS & Praktisi Multimedia